Kamis, 19 April 2012

my kind of book

Saya adalah seorang pecinta karya-karya Ayu Utami
Penikmat karya-karya Clara Ng
Membaca beberapa karya Fira Basuki
Dan tidak pernah membaca Supernova

Saya membuat tulisan ini pada tanggal 13 April 2012, tepat pada hari saat Partikel Supernova terbit. Bukan, sama sekali bukan sengaja saya membuat tulisan ini. Tulisan ini justru muncul lebih karena saya melepas sampul Cerita Cinta Enrico dibanding Timeline Twitter yang dipenuhi oleh #partikel.
Mengapa saya tidak pernah membaca supernova? Bukan. Bukan karena saya masuk golongan si anti mainstream yang menolak kemapanan atau menolak mengikuti trend, lah wong saya punya twitter. Tapi kejadian traumatic saat otak saya belum berkembang dan membuka halaman Supernova tentang kesatria berbaju zirah dan rasi bintang, otak saya langsung menolak. Maklum, otak saya belum siap dengan bacaan penuh kata-kata yang aneh, karena sebelumnya hanya diisi oleh Majalah Gadis, Hai! dan Donald Bebek. See! Bukan anti mainstream, emang masih bego aja.

Untuk Fira Basuki mungkin saya tidak bisa berpendapat karena beberapa bukunya yang say abaca pun sudah tidak ingat. Pintu-jendela-atap? Betul-betul sudah lupa ceritanya tentang apa. Tapi saya penikmat tulisan-tulisannya di twitter terutama dialognya dengan dan tentang Tuhan.

Saya penikmat karya-karya Clara Ng, tidak semuanya, tapi sebagian besar. Perkenalan pertama dengan Indiana Lesmana. Saat itu saya salah membaca judulnya, sehingga yang terbaca oleh saya adalah “the chronicle of INDRA LESMANA” sebagai penikmat jazz jadi-jadian, saya langsung menyambar buku itu. Saya kira biography Indra Lesmana tapi kenapa cover bukunya cartoon cewe? Dasar jazz-er jadi-jadian, tanpa baca synopsis dan meneliti lebih jauh, saya beli lah buku itu. Tidak menyesal! Bahakan saya terus menanti seri-seri berikutnya yang berlanjut dengan membeli karya-krya Clara Ng, menunggu-nunggu Koran Kompas untuk membaca Tea for Two hingga menghabiskan 1 hari dengan Gerhana Kembar. Gerhana Kembar membuat saya makin tergila-gila dengan karya Clara Ng. Jujur awalnya saya merasa “terganggu” dengan ceritanya, cerita tentang lesbian dengan latar 70an. Rasanya aneh, karena selama ini film-film dan kisah lesbian mengumbar seks bebas, party dan wild, yang membuat pikiran saya terpatri. Dan itu juga yang membuat saya dan mungkin sebagian besar wanita tidak bias menikmatinya. Tapi semakin lama say abaca ternyata Gerhana Kembar ini berhasil menyajikan sisi berbeda, menghilangkan rasa “tidak nyaman” dan yang terpenting bercerita. Bercerita selayaknya kisah, dengan kendala yang beda tapi membuat saya tidak lagi memikirkan kisah ini tentang wanita dan wanita. Dan jauh dari sekedar roman picisan.

Yang terakhir Ayu Utami. Im crazy about her work! Semuanya. Parasit Lajang. Saman. Larung. Bilangan Fu dan serialnya pertamanya Majanjali Cakrabirawa (sampai saat ini baru terbit satu) dan saya yakin begitu juga Cerita Cinta Enrico yang baru akan saya abaca. Perkenalan pertama tentu dari saman, buku yang entah milik siapa dan teronggok lama di lemari. Saya bersyukur saya membacanya setelah tingkat dua kuliah, jika tidak mungkin akan berakhir seperti halnya Supernova. Setelah itu saya tidak bisa menolak membaca karaya-karya Ayu Utami. Bukan hanya membaca tapi harus punya, semacam ada obsesi atas kepemilikan karya-karyanya. Setiap bukunya selalu menceritakan sebuah kejadian kecil individu dengan kisah-kisah “kecil” mereka dibalut dengan mitos dan sejarah-sejarah “besar” dengan pengaruh besar. Bukankah itu nyata, bahwa memang saat kejadian-kejadian besar terjadi diantara para pelaku sejarah “besar” dan mitos-mitos mempengaruhi hidup masyarakat selalu ada masing-masing individu yang, bahkan keberadaanya tidak diketahui oleh pelaku sejarah “besar”, berkutat melakukan sejarahnya sendiri ditengah kukungan dan pengaruh mitos serta sejarah besar. Itu nyata,terjadi selalu. Tapi kita memang tidak pernah mengkorelasikan sejaran “besar”, mitos dan sejarah kita. Didukung dengan kegilaan saya pada pengaruh Mitos dan adat istiadat pada perilaku masyarakatnya. (dan sekarang saatnya meratap, mungkin saya salah jurusan). Belum lagi feminismenya yang selalu terasa kental disetiap tulisan. Walaupun pemeran utama bukan seorang wanita, tapi feminism tokoh wanita selalu menonjol tiap kali sang tokoh diceritakan. And for all of those reasons, I love her works!

Yang mungkin berubah suatu saat nanti mungkin pernyataan saya tentang Supernova. Melihat etos kerja, totalitas dan detail freak seorang Dewi Lestari ditambah jumlah buku berbahasa “asing” (Indonesia yang asing maksud saya) yang sudah saya baca sepertinya saya akan memberi supernova satu kesempatan lagi. And I hope Supernova and I can work it out. Bukan, bukan supaya saya terbebas dari label anti mainstream. But her amazing work r worth another try.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar